Shalat memiliki kedudukan yang sangat mulia di dalam Islam, hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
[1] Shalat adalah salah satu rukun Islam
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima
perkara : persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah
dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
haji ke baitullah dan berpuasa di bulan ramadhan” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Shalat wajib yang lima waktu adalah salah satu ruku Islam yang lima.
Bahkan rukun paling agung sesudah dua kalimat syahadat. Penetapannya
berdasarkan al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’. Barangsiapa menentangnya
maka dia telah kafir (lihat Taisir al-’Allam I/81). Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Shalat adalah rukun Islam
yang paling agung setelah syahadatain. Itulah ibadah yang apabila
ditanggalkan oleh seorang insan karena sebab meremehkan dan malas maka
dia menjadi kafir. Dan apabila dia menentang kewajibannya maka dia juga
kafir meskipun dia melakukannya (shalat). Apabila dia mengerjakan shalat
dan emngatakan : ‘Saya mengerjakan shalat lima waktu ini sebagai amalan
sunnah (saja)’, maka dia berstatus kafir, meskipun dia juga melakukan
shalat tersebut” (Shifat ash-Shalah, hal. 26).
[2] Menyia-nyiakan shalat menyebabkan masuk neraka
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan merasakan siksa pedih yang berlipat ganda (al ghayy) di neraka. Kecuali orang yang beriman, bertaubat dan beramal shalih..” (QS. Maryam : 59-60). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan “Bukanlah makna menyia-nyiakan shalat itu meninggalkan seluruhnya (tidak shalat sama sekali) akan tetapi maknanya mengakhirkan shalat dari waktu yang seharusnya.” Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah -salah seorang Imam dari kalangan tabi’in- mengatakan, “Orang itu adalah orang yang tidak mengerjakan shalat zhuhur kecuali apabila waktu asahar telah tiba. Dan tidak mengerjakan shalat ashar kecuali apabila waktu maghrib telah tiba. Dan tidak mengerjakan shalat maghrib kecuali apabila waktu Isyak telah tiba. Dan tidak mengerjakan shalat Fajar kecuali apabila matahari telah terbit. Barangsiapa meninggal dalam keadaan seperti itu terus menerus dan belum bertaubat maka Allah mengancamnya dengan ghayy yaitu sebuah lembah di dalam neraka Jahannam yang sangat dalam dan mempunyai aroma yang sangat menjijikkan.” (lihat al-Kaba’ir hal. 19).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka datanglah sesudah mereka pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan merasakan siksa pedih yang berlipat ganda (al ghayy) di neraka. Kecuali orang yang beriman, bertaubat dan beramal shalih..” (QS. Maryam : 59-60). Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan “Bukanlah makna menyia-nyiakan shalat itu meninggalkan seluruhnya (tidak shalat sama sekali) akan tetapi maknanya mengakhirkan shalat dari waktu yang seharusnya.” Sa’id bin al-Musayyib rahimahullah -salah seorang Imam dari kalangan tabi’in- mengatakan, “Orang itu adalah orang yang tidak mengerjakan shalat zhuhur kecuali apabila waktu asahar telah tiba. Dan tidak mengerjakan shalat ashar kecuali apabila waktu maghrib telah tiba. Dan tidak mengerjakan shalat maghrib kecuali apabila waktu Isyak telah tiba. Dan tidak mengerjakan shalat Fajar kecuali apabila matahari telah terbit. Barangsiapa meninggal dalam keadaan seperti itu terus menerus dan belum bertaubat maka Allah mengancamnya dengan ghayy yaitu sebuah lembah di dalam neraka Jahannam yang sangat dalam dan mempunyai aroma yang sangat menjijikkan.” (lihat al-Kaba’ir hal. 19).
[3] Melalaikan shalat menyebabkan turunnya azab
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. al-Ma’un : 4-5). Sa’ad bin abi Waqqash radhiyallahu’anhu mengatakan, “bahwa lalai dari shalat artinya mengakhirkan shalat dari waktu yang semestinya”. Allah menyebut mereka mushallun/orang yang shalat akan tetapi karena mereka meremehkan dan mengakhirkannya dari waktunya maka Allah mengancam mereka dengan wail yang artinya azab yang sangat keras. Ada yang berpendapat bahwa wail adalah nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam, yang seandainya gunung-gunung yang ada di dunia diperjalankan di dalamnya niscaya akan mencair/leleh karena panasnya yang sangat membakar. Itulah tempat bagi orang yang meremehkan shalat dan mengakhirkannya dari waktunya, kecuali apabila dia telah bertaubat kepada Allah Ta’ala dan menyesali perbuatannya tersebut (lihat al-Kaba’ir hal. 19).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya” (QS. al-Ma’un : 4-5). Sa’ad bin abi Waqqash radhiyallahu’anhu mengatakan, “bahwa lalai dari shalat artinya mengakhirkan shalat dari waktu yang semestinya”. Allah menyebut mereka mushallun/orang yang shalat akan tetapi karena mereka meremehkan dan mengakhirkannya dari waktunya maka Allah mengancam mereka dengan wail yang artinya azab yang sangat keras. Ada yang berpendapat bahwa wail adalah nama sebuah lembah di dalam neraka Jahannam, yang seandainya gunung-gunung yang ada di dunia diperjalankan di dalamnya niscaya akan mencair/leleh karena panasnya yang sangat membakar. Itulah tempat bagi orang yang meremehkan shalat dan mengakhirkannya dari waktunya, kecuali apabila dia telah bertaubat kepada Allah Ta’ala dan menyesali perbuatannya tersebut (lihat al-Kaba’ir hal. 19).
[4] Shalat adalah amal pertama yang dihisab
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka sungguh dia telah berbahagia dan selamat. Dan apabila jelek shalatnya maka dia telah binasa dan merugi” (HR. Baihaqi, dishahihkan al Albani dalam ash-Shahihah no. 1358 dengan banyak jalan dan penguat-penguatnya, lihat al-Kaba’ir hal 20).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal hamba yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka sungguh dia telah berbahagia dan selamat. Dan apabila jelek shalatnya maka dia telah binasa dan merugi” (HR. Baihaqi, dishahihkan al Albani dalam ash-Shahihah no. 1358 dengan banyak jalan dan penguat-penguatnya, lihat al-Kaba’ir hal 20).
[5] Menjaga shalat mendatangkan keselamatan di akhirat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memelihara dan menjaganya (shalat) maka ia akan menjadi cahaya, keterangan dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya maka dia tidak mempunyai cahaya, keterangan dan keselamatan pada hari kiamat. Pada hari kiamat itu dia akan dikumpulkan bersama Fir’aun, Qarun, Haman dan Ubay bin Khalaf” (HR. Ahmad dll. Sanadnya shahih. Lihat al-Kaba’ir tahqiq Hilmi bin Ismail ar-Rasyidi hal. 21). Sebagian ulama rahimahumullah mengatakan : Orang yang meninggalkan shalat itu dikumpulkan bersama empat orang itu karena dia disibukkan dengan harta, kekuasaan, urusan kementrian/kepegawaian atau perdagangan sehingga tidak menjaga shalat. Apabila dia disibukkan oleh harta maka dia dikumpulkan bersama Qarun. Apabila dia disibukkan oleh kekuasaan maka dia dikumpulkan bersama Fir’aun. Apabila dia disibukkan oleh urusan kementrian/kepegawaian maka dia dikumpulkan bersama Haman. Apabila dia disibukkan oleh perdagangan maka dia dikumpulkan bersama Ubay bin Khalaf; seorang pedagang kafir di kota Mekkah (lihat al-Kaba’ir hal. 21).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memelihara dan menjaganya (shalat) maka ia akan menjadi cahaya, keterangan dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya maka dia tidak mempunyai cahaya, keterangan dan keselamatan pada hari kiamat. Pada hari kiamat itu dia akan dikumpulkan bersama Fir’aun, Qarun, Haman dan Ubay bin Khalaf” (HR. Ahmad dll. Sanadnya shahih. Lihat al-Kaba’ir tahqiq Hilmi bin Ismail ar-Rasyidi hal. 21). Sebagian ulama rahimahumullah mengatakan : Orang yang meninggalkan shalat itu dikumpulkan bersama empat orang itu karena dia disibukkan dengan harta, kekuasaan, urusan kementrian/kepegawaian atau perdagangan sehingga tidak menjaga shalat. Apabila dia disibukkan oleh harta maka dia dikumpulkan bersama Qarun. Apabila dia disibukkan oleh kekuasaan maka dia dikumpulkan bersama Fir’aun. Apabila dia disibukkan oleh urusan kementrian/kepegawaian maka dia dikumpulkan bersama Haman. Apabila dia disibukkan oleh perdagangan maka dia dikumpulkan bersama Ubay bin Khalaf; seorang pedagang kafir di kota Mekkah (lihat al-Kaba’ir hal. 21).
[6] Shalat mencegah fahsya’ dan munkar
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbutan keji/fahsya’ dan mungkar…” (QS. al-’Ankabut : 45). Shalat dapat menghalangi pelakunya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar yaitu apabila seorang hamba senantiasa menegakkan shalat, menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya dan khusyu’ di dalamnya. Maka dengan itu hatinya akan bersinar dan menjadi bersih dan keimanannya pun meningkat. Dan keinginannya untuk berbuat baik menjadi kuat. Sedangkan keinginannya untuk berbuat jelek menjadi berkurang atau hilang. Dengan senantiasa mengerjakan shalat dalam kondisi seperti ini niscaya bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar. Inilah salah satu tujuan dan hasil terbesar yang terdapat di dalam ibadah shalat. Bahkan ada tujuan yang lebih besar daripada itu yaitu dzikrullah/mengingat Allah dengan hati, lisan dan anggota badan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 632).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbutan keji/fahsya’ dan mungkar…” (QS. al-’Ankabut : 45). Shalat dapat menghalangi pelakunya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar yaitu apabila seorang hamba senantiasa menegakkan shalat, menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya dan khusyu’ di dalamnya. Maka dengan itu hatinya akan bersinar dan menjadi bersih dan keimanannya pun meningkat. Dan keinginannya untuk berbuat baik menjadi kuat. Sedangkan keinginannya untuk berbuat jelek menjadi berkurang atau hilang. Dengan senantiasa mengerjakan shalat dalam kondisi seperti ini niscaya bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar. Inilah salah satu tujuan dan hasil terbesar yang terdapat di dalam ibadah shalat. Bahkan ada tujuan yang lebih besar daripada itu yaitu dzikrullah/mengingat Allah dengan hati, lisan dan anggota badan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 632).
[7] Nabi diangkat ke langit untuk menerima perintah shalat
Peristiwa itu dikenal dengan Isra’ dan Mi’raj. Imam Bukhari membawakan kisahnya di dalam kitab Shahihnya no hadits. 349. Di dalam hadits yang panjang, di antaranya dikisahkan bahwa pada awalnya shalat diwajibkan sebanyak 50 kali. Kemudian setiap kali bertemu Musa ‘alaihi salam beliau disarankan untuk meminta keringanan karena perintah tersebut tidak akan mampu dilaksanakan oleh umatnya. Hal itu membuat Nabi bolak-balik, sampai akhirnya kewajiban itu dikurangi menjadi lima kali shalat. Dan Allah Ta’ala menyatakan, “Lima kali shalat ini senilai dengan lima puluh kali shalat, Ketetapan di sisi-Ku tidak akan berubah lagi” (lihat Fath al-Bari, I/541).
Peristiwa itu dikenal dengan Isra’ dan Mi’raj. Imam Bukhari membawakan kisahnya di dalam kitab Shahihnya no hadits. 349. Di dalam hadits yang panjang, di antaranya dikisahkan bahwa pada awalnya shalat diwajibkan sebanyak 50 kali. Kemudian setiap kali bertemu Musa ‘alaihi salam beliau disarankan untuk meminta keringanan karena perintah tersebut tidak akan mampu dilaksanakan oleh umatnya. Hal itu membuat Nabi bolak-balik, sampai akhirnya kewajiban itu dikurangi menjadi lima kali shalat. Dan Allah Ta’ala menyatakan, “Lima kali shalat ini senilai dengan lima puluh kali shalat, Ketetapan di sisi-Ku tidak akan berubah lagi” (lihat Fath al-Bari, I/541).
[8] Mendirikan shalat ciri orang bertakwa
Allah Ta’ala menjelaskan sifat-sifat orang bertakwa di antaranya, “Yaitu orang-orang yang beriman dengan hal ghaib dan mendirikan shalat..” (QS. al Baqarah : 3). Di dalam ayat ini Allah tidak mengatakan “yang melakukan atau mengerjakan shalat” (tetapi mendirikan) karena melakukan shalat secara fisik saja tidaklah cukup. Yang dimaksud mendirikan shalat adalah : menegakkannya secara fisik dengan cara menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan syarat-syaratnya dan juga meliputi menegakkan shalat secara batin yaitu dengan menghadirkan ruh di dalamnya, berupa konsentrasi hati di dalam shalat serta merenungkan apa yang dibaca dan apa yang dilakukan. Inilah shalat yang bisa menghalangi pelakunya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar. (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 41). Takwa adalah menjaga diri dari murka Allah yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Karena shalat adalah salah satu perintah Allah maka orang yang mengerjakannya memiliki salah satu ciri orang yang bertakwa, wallahu a’lam.
Allah Ta’ala menjelaskan sifat-sifat orang bertakwa di antaranya, “Yaitu orang-orang yang beriman dengan hal ghaib dan mendirikan shalat..” (QS. al Baqarah : 3). Di dalam ayat ini Allah tidak mengatakan “yang melakukan atau mengerjakan shalat” (tetapi mendirikan) karena melakukan shalat secara fisik saja tidaklah cukup. Yang dimaksud mendirikan shalat adalah : menegakkannya secara fisik dengan cara menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya dan syarat-syaratnya dan juga meliputi menegakkan shalat secara batin yaitu dengan menghadirkan ruh di dalamnya, berupa konsentrasi hati di dalam shalat serta merenungkan apa yang dibaca dan apa yang dilakukan. Inilah shalat yang bisa menghalangi pelakunya dari mengerjakan perbuatan keji dan munkar. (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 41). Takwa adalah menjaga diri dari murka Allah yaitu dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Karena shalat adalah salah satu perintah Allah maka orang yang mengerjakannya memiliki salah satu ciri orang yang bertakwa, wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar